Pelaksanaan Special Call dengan nama panggilan dari station Pengendali Net Special Call adalah ” 8C72CS “.
Adapun Kegiatan tersebut akan kami laksanakan pada :
Hari : Minggu - Rabu
Tanggal : 7 - 10 November 2020
Waktu : Pukul 16.00 - 23.59 WIB
. Khusus hari Minggu kegaiatan dilaksanakan pada pukul 09.00 - 23.59 WIB
Untuk Juklak versi PDF bisa di download di SINI
CHATIB SULAIMAN
Chatib Sulaiman (lahir di Sumpur, Tanah Datar, Sumatra Barat, 1906 atau 1907 — meninggal di Situjuah Limo Nagari, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 15 Januari 1949 pada umur 42 atau 43 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dari Sumatra Barat. Ia terlibat dalam perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berlangsung dari tgl 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949 di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara..
Kehidupan awal
Chatib Sulaiman lahir tahun 1906 atau 1907[1] di Sumpur, sebuah nagari yang terletak di Afdeling (wilayah administratif setingkat kabupaten pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda) Tanah Datar, Sumatra Barat. Nagari ini terletak di tepi Danau Singkarak.[1] Leon Salim (1987) dalam manuskripnya berjudul Khatib Sulaiman, menyebut Chatib terlahir dari keluarga mapan. Sedari kecil, putra Haji Sulaiman dan Siti Rahma itu dididik dalam pola budaya Minangkabau.[2]
Pagi hari ia berangkat ke Hollandsch Indlandsche School (HIS) Adabiah, sore belajar mengaji dan silat, kemudian malam harinya menginap di surau yang terletak di Pasar Mudik, Padang.[2]
Menurut pemerhati sejarah lokal Sumatra Barat Fikrul Hanif Sufyan, di tengah kemapanan hidup, usaha dagang ayah Khatib di Pasar Gadang jatuh bangkrut. Di tengah situasi sulit itu, sekolahnya di MULO tetap lanjut atas bantuan saudagar kaya Abdullah Basa Bandaro, seorang tokoh yang terkenal di kalangan kaum nasionalis, islamis, dan komunis pada awal pergerakan kebangsaan di Sumatra Barat.[2]
Di bawah asuhan Basa Bandaro, pola pemikiran Khatib di dunia pergerakan dan pada masa revolusi kemerdekaan telah terbentuk. Pengalaman hidup Khatib selama 23 di Pasar Gadang dalam menikmati masa pendidikan, violist, maupun mengisi suara untuk film bisu di sebuah bioskop di Padang, turut memberi pengaruh terhadap watak dan kepribadiannya.
Pergerakan
Pada tahun 1930, Khatib yang hobi menggesek biola ini memutuskan hijrah ke Padang Panjang, episentrum dari pusat pendidikan dan pergerakan kebangsaan. Dalam buku Menuju Lentera Merah ditulis bahwa masa itu Padang Panjang telah menjelma sebagai pusat modernisasi Islam, yang ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah dan dua sekolah Islam modernis Sumatra Thawalib dan Diniyah School.[2]
Euforia pergerakan Islam di Padang Panjang, juga dipengaruhi modernisasi transportasi massal kereta api, yang mendorong mobilisasi manusia dan barang dalam jumlah besar. Disadari atau tidak, segmen-segmen peristiwa besar itu mendorong Khatib untuk terlibat aktif di dalamnya.
Pemuda Khatib masa itu telah mengajar di HIS Muhammadiyah, diminta menjadi juru penerjemah El-Hilaal, sebuah kepanduan milik PMDS dan Sumatra Thawalib. Sampai di akhir 1930 terjadi perpecahan di tubuh El-Hilaal.[2]
Khatib dan sahabatnya Leon Salim memutuskan untuk mendirikan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931.[2] Penggunaan kata Indonesia dari rangkaian akronim KIM, menurut Fikrul, menarik dicermati. Pengakuan kata Indonesia bisa disebut kali pertama terjadi di Sumatra, khusus untuk kelompok padvinder Islam mau melekatkan kata Indonesia. Tren lain dalam tubuh KIM adalah keterlibatan perempuan dalam kepanduan yang digawangi Dahniar Zainuddin, Timur Latif, dan Dinar Sulaiman.
Di tengah kesibukannya mengurus kepanduan, Khatib tetap menyempatkan dirinya untuk membaca buku-buku bernuansa religius, nasionalis, sosialis, dan lainnya. Kecenderungan-kecenderungan di atas, memang telah menjangkiti kalangan terpelajar dan aktivis organisasi pada awal abad ke-20, sehingga di sela-sela waktu mereka masih menyempatkan diri untuk melahap bacaan dari 'luar' (Kahin, 1996).
Terstrukturnya pola pikir dan gerak cepat Khatib pasca-Kolonial Belanda nantinya, diduga kuat dipengaruhi oleh bacaan-bacaan yang dilahap selama bermukim di Padang Panjang. Rasa nasionalisme yang kuat, mendorongnya untuk membentuk organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, atau yang dikenal dengan PNI Baru.
Khusus Sumatra Barat, Mohammad Hatta mendaulat Khatib Sulaiman sebagai anggota pimpinan umum, dengan posisi sebagai pengkader.[2] Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh PNI Baru di bawah binaan Khatib dan kesungguhan anggota-anggotanya, mengingatkan banyak orang kepada Workers Education Association (WEA).
Anggota PNI Baru di bawah binaan Khatib, sebagian besar berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Pada 24 Maret 1933 dalam konferensi pertama PNI Baru di Padang Panjang, Khatib telah merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik, dan strategi, yang diarahkan pada kader-kader PNI Baru.[2]
Karena dianggap telah menyebarkan rasa permusuhan dan merusak rust en orde (ketenangan dan ketertiban), Khatib pun dihukum buang ke Kota Cane (Kutacane) Aceh pada tahun 1942, bersama Leon Salim, Dt. Mandah Kayo, Murad Saad, Rajo Bujang, dan Khaidir Ghazali.[2] Hampir saja melayang jiwanya, namun segera diselamatkan serdadu militer Jepang yang diminta Bung Karno mencari keberadaan pemuda Khatib di Kota Cane.[2]
Melihat kecerdasan Khatib, pemerintah Jepang pun segera merekrutnya sebagai think tank membentuk barisan keamanan. Atas prakarsa Khatib, dibentuklah barisan Giyugun, yang merupakan cikal bakal pembentukan TNI di Sumatra Barat.[2]
Patriot
Pada tanggal 14 Januari 1949, Chatib Sulaiman sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah memimpin suatu rapat di Lurah Kincia, Situjuh Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Rapat diikuti Bupati Militer dan beberapa pimpinan pejuang lainnya serta puluhan orang pasukan pengawal. Hasil rapat memutuskan kota Payakumbuh yang sedang dikuasai Belanda harus diserang dari segala arah lalu mendudukinya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa perjuangan rakyat Indonesia masih tetap ada. Hal ini dilakukan untuk melawan opini yang dibentuk Belanda bahwa Indonesia telah mereka kuasai sepenuhnya.[3]
Keberadaan mereka akhirnya diketahui Belanda. Pada subuh hari tanggal 15 Januari 1949 saat para pejuang akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan oleh Belanda. Chatib Sulaiman dan beberapa pimpinan perjuangan beserta puluhan orang lainnya tewas seketika, diantaranya Arisun Sutan Alamsyah (Bupati Militer Limapuluh Kota), Letkol Munir Latief, Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar, Letda Syamsul Bahri serta 69 orang pasukan Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK)
Penghargaan
Peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Situjuah ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing yang telah berlangsung begitu lama.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dan kepahlawanannya beberapa kota di Sumatra Barat menyandangkan nama Chatib Sulaiman sebagai nama jalan, seperti salah satu jalan utama di kota Padang.
Comments
Post a Comment